Minggu, 11 April 2010

Prosedur Arbitrase Menurut Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

BAB I
PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN
Di dalam permasalahan hukum, sering kita temui yang namanya hukum arbitrase yang merupakan salah satu alternatif penyelesaian hukum di luar pengadilan. Di mana di dalam penyelasaian suatu masalah bisnis antara dua orang yang mengadakan perjanjian bisnis atau kontrak kerja bisnis. Terkadang untuk menyelesaikan persengketaan yang terjadi di dalam permasalahan ini mereka menyelasaikannya dengan jalan hukum arbitrase yang diselesaikan di luar pengadilan.

Di Indonesia ada yang suatu badan hukum arbitrase yang disebut dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Di mana setiap ada persengketaan yang mengenai dengan hukum arbitrase akan di selesaikan kepada BadanArbitase Nasional Indonesia ini sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa.

Di sini kita akan membahas masalah prosedur arbitrase menurut Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), di mana kita akan membahas tentang prosedur penyelesaian arbitrase berdasarkan Badan Arbiter yang ada di Indonesia.

Untuk lebih jelasnya kita terlebih dahulu menyelesaikan masalah ini satu per satu, dan di jelaskan secara ringkas di dala suatu makalah. Di sini kita akan berbicara panjang lebar mengenai Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Yang meliputi pembahasan tentang pengertian Arbitrase, pengertian Badan Arbitrase Nasional Indonesia, dan prosedur penyelesaian sengketa menurut Badab Arbitrase Nasional Indonesia.



















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Arbitrase

Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengaturtentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Perkembangan ini sejalan dengan arah globalisasi, di mana penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur, karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal balik putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.
a. Dalam rangka turut serta dalam upaya penegakan hukum di Indonesia menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang Korporasi, Asuransi, Lembaga Keuangan, Fabrikasi, Hak Kekayaan Intelektual, Lisensi, Franchise, Konstruksi, Pelayaran/maritim, Lingkungan Hidup, Penginderaan Jarak Jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.
b. Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti negiosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan Peraturan Prosedur BANI atau peraturan prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.
c. Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.


Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa

B. Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau BANI adalah suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia guna penegakan hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, pabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi, waralaba, konstruksi, pelayaran / maritim, lingkungan hidup, penginderaan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional. Badan ini bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu almarhum Prof Soebekti S.H. dan Haryono Tjitrosoebono S.H. dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan dan Batam.

Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk batasan waktu di mana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. Pada saat ini BANI memiliki lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai profesi, 30% diantaranya adalah asing.
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah merupakan suatu cara untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Dalam rangka mengembangkan arbitrase internasional dan berbagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa di bidang komersial antara para pengusaha di negara-negara yang bersangkutan, maka BANI telah mengadakan kesepakatan kerjasama dengan berbagai lembaga di negara-negara, antara lain dengan :
1. The Japan Commercial Arbitration Association (JCAA)
2. The Netherlands Arbitration Institute ( NAI)
3. The Korean Commercial Arbitration Board (KCAB)
4. Australian Centre for International Commercial Arbitration (ACICA)
5. The Philippines Dispute Resolution Centre Inc (PDRCI)
6. Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC)
7. The Foundation for International Commercial Arbitration dan Alternative Dispute Resolution (SICA-FICA)
C. Prosedur Arbitrase Menurut BANI
Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis mencantumkan klausula arbitrase yaitu kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase di hadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau menggunakan peraturan prosedur BANI, maka sengketa tersebut akan diselesaikan dibawah penyeleng-garaan BANI berdasarkan peraturan tersebut, dengan mem¬perhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non-konfrontatif.
Prosedur arbitrase juga di atur dalam Undang-undang no 30 tahun 1999 tentang rbitrase pada pasal 2, yang berbunyi:
“Peraturan Prosedur ini berlaku terhadap arbitrase yang diselenggarakan oleh BANI. Dengan menunjuk BANI dan/atau memilih Peraturan Prosedur BANI untuk penyelesaian sengketa, para pihak dalam perjanjian atau sengketa tersebut dianggap sepakat untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara melalui Pengadilan Negeri sehubungan dengan perjanjian atau sengketa tersebut, dan akan melak¬sanakan setiap putusan yang diambil oleh Majelis Arbitrase berdasarkan Peraturan Prosedur BANI”.
Selanjutnya ketentuan BANI juga diatur pada pasal 3 di dalam undang-undang no 30 tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
Kecuali secara khusus ditentukan lain, maka istilah-istilah di bawah ini berarti:
a. “Majelis Arbitrase BANI” atau “Majelis”, baik dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah Maje¬lis yang dibentuk menurut Prosedur BANI dan terdiri dari satu atau tiga atau lebih arbiter;
b. “Putusan”, baik dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah setiap putusan yang ditetapkan oleh Majelis Arbitrase BANI, baik putusan sela ataupun putusan akhir/final dan mengikat;
c. “BANI” adalah Lembaga Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
d. “Dewan” adalah Badan Pengurus BANI;
e. “Ketua” adalah Ketua Badan Pengurus BANI, kecuali dan apabila jelas dinyatakan bahwa yang dimaksud adalah Ketua Majelis Arbitrase. Ketua BANI dapat menunjuk Wakil Ketua atau Anggota Badan Pengurus yang lain untuk melaksanakan tugas-tugas Ketua sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Prosedur ini, termasuk dalam hal tertentu untuk menunjuk satu atau lebih arbiter, dalam hal mana rujukan kepada Ketua dalam Peraturan ini berlaku pula terhadap Wakil Ketua atau Anggota Badan Pengurus yang lain yang ditunjuk tersebut.
f. “Pemohon” berarti dan menunjuk pada satu atau lebih pemohon atau para pihak yang mengajukan permohonan arbitrase;
g. “Undang-Undang” berarti dan menunjuk pada Undang-undang Republik Indonesia No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
h. “Termohon” berarti dan menunjuk pada satu atau lebih Termohon atau para pihak terhadap siapa permohonan arbitrase ditujukan;
i. “Para Pihak” berarti Pemohon dan Termohon;
j. “Peraturan Prosedur” berarti dan menunjuk pada ketentuan-ketentuan Peraturan Prosedur BANI yang berlaku pada saat dimulainya penye¬leng¬¬garaan arbitrase, dengan mengin¬dahkan a¬da¬nya kesepakatan tertentu yang mungkin di¬bu¬at para pihak yang bersangkutan yang satu dan lain dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1;
k. “Sekretariat” berarti dan menunjuk pada organ administratif BANI yang bertanggung jawab dalam hal pendaftaran permohonan arbitrase dan hal-hal lain yang bersifat administratif dalam rangka penyelenggaraan arbitrase;
l. "Sekretaris Majelis” berarti dan menunjuk pada sekretaris majelis yang ditunjuk oleh BANI untuk membantu administrasi penyelenggaraan arbitrase bersangkutan; dan
m. “Tulisan”, baik dibuat dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah dokumen-dokumen yang di¬tu¬lis atau dicetak di atas kertas, tetapi juga doku¬men-dokumen yang dibuat dan/atau dikirimkan secara elektronis, yang meliputi tidak saja perjanjian-perjanjian tetapi juga pertukaran korespondensi, catatan-catatan rapat, telex, telefax, e-mail dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya yang demikian; dan tidak boleh ada perjanjian, dokumen korespondensi, surat pemberitahuan atau instrumen lainnya yang dipersyaratkan untuk diwajibkan secara tertulis, ditolak secara hukum dengan alasan bahwa hal-hal tersebut dibuat atau disampaikan secara elektronis.
Adapun cara memulainya permohonan arbitrase itu juga telah diatur dalam undang-undang no 30 tahun 1999 pada pasal 6 tentang memulai permohonan arbitrase yang berbunyi:
Pasal 6. Permohonan Arbitrase
1. Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase (“Pemohon”) pada Sekretariat BANI.

2. Penunjukan Arbiter
Dalam Permohonan Arbitrase Pemohon dan dalam Jawaban Termohon atas Permohonan tersebut Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan tersebut kepada Ketua BANI.
3. Biaya-biaya
Permohonan Arbitrase harus disertai pemba¬yaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan BANI.
Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya Sekretaris Majelis.
Apabila pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase turut serta dan menggabungkan diri dalam pro-ses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh pasal 30 Undang-undang No. 30/1999, maka pihak ketiga tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut.
4. Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi oleh para pihak sesuai ketentuan BANI.
Demikianlah prosedur arbitrase menurut Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) mulai dari pengertian arbitrase itu sendiri hingga tata cara memulai arbitrase. Hal ini merupakan suatu aturan yang telah diatur dalam undang-undang no 30 tahun 1999 tentang arbitrase. Prosedur arbitrase ini selanjutnya diatur pada pasal-pasal yang lain dalam undang-undang no 30 tahun 1999 tentang arbitrase.











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Arbitrase merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan bisnis yang diselaikan di luar pengadilan, di mana prosedur dan cara penyelesaiannya telah diatur dalam undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang arbitrase.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia adalah suatu badan atau lembaga yang berdiri secara independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu almarhum Prof Soebekti S.H. dan Haryono Tjitrosoebono S.H. dan Prof Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan dan Batam.

Dengan adanya pembentukan BANI di Indonesia, maka penyelesaian sengketa bisnis harus di selesaikan di lembaga ini agar lebih mudah dan cepat.